Masyarakat Lunang mempercayai setidak-tidaknya berdasarkan
kisah yang dituturkan secara langsung
oleh Maridun (Almarhum) bekas anggota Buterpa dan mantan Walinagari
Lunang selama 15 tahun, dan menurut cerita dari H. Sutan Maruhun yang bergelar
Bujang Sabalaeh, 84 (jari tangan beliau sebelas buah), yang tinggal di Pasar
Sebelah di Inderapura, secara tegas mengatakan bahwa Lunang adalah kelanjutan
dari "sejarah" Cindua Mato.
Dituturkan juga oleh Zainal Abidin,
Dt. Sinar Matohari, menjabat Penghulu dari Suku Melayu sebelum tahun 1970-an
dan pernah menjadi Walinagari Lunang selama 7 tahun pada tahun 1965. Bahwa
Lunang dahulu terdiri dari satu kampung saja, 2 tahun kemudian di mekarkan
menjadi 6 kampung yaitu Kampung Dalam, Kampung Rantau Ketaka, kampung Kumbung
I, II, Kampung Empang Tanah dan Kampung Sindang, hingga tahun 1972.
Terkuaknya tabir sejarah Rumah
Gadang Mandeh Rubiah adalah ketika peneliti sejarah dari Propinsi Sumatera
Barat dan Kabupaten Pesisir Selatan datang ke Lunang serta mengundang tokoh
Lunang seperti Penghulu dan ulama di rumah gadang. Maridun sebagai mewakili
keluarga Mandeh Rubiah dengan seizin penghulu dan tokoh masyarakat Lunang
lainnya mengeluarkan benda-benda sejarah yang disimpan rapi dalam rumah gadang
untuk membuktikan Lunang merupakan penerus dari sejarah Bundo Kandung di
Paruyung.
Rumah Gadang Mandeh Rubiah di
tahun 1980 sebelum di renovasi oleh Pemerintah. Pada tanggal 8 Maret 1980 rumah
gadang ini di resmikan menjadi museum lokal di Sumatera Barat yaitu Museum
Mande Rubiah.
Terpendamnya sejarah Lunang khusunya
keberadaan rumah gadang dan makam tua yang terletak di Kompleks Rumah Gadang
Mandeh Rubiah adalah perlindungan bagi masyarakat Lunang terhadap rumah gadang
dan makam tersebut takut dipindahkan ke daerah Darek (wilayah Pagaruyung
sekarang). Sejarah inipun menjadi rahasia bagi masyarakat Lunang dan wilayah
sekitar seperti Inderapura sampai Mukomuko Bengkulu.
Barulah setelah masayarakat Lunang
mengetahui adanya Undang-Undang tentang perlindungan tempat bersejarah mereka
berani membuka tabir sejarah yang telah lama dirahasiakan.
Makam Bundo Kanduang pada tahun 1980, disebelahnya
terdapat Makam Puti Bungsu dan disebelahnya lagi Makam Dang Tuangku. Di
kompleks makam ini juga terdapat makam Syekh Malak Ibrahim penyiar syariah
Tarekat Syattariah pertama di Lunang.
Dari hasil pendataan ataupun
penelitian oleh pihak Suaka PS & P Sumbar Riau, maupun pihak lain,
diperkirakan peninggalan Sejarah Rumah Gadang Mandeh Rubiah beserta Makam dan
benda-benda lainnya sudah berumur lebih kurang lima Abad, yang diduga dai abad
ke XV atau awal Abad ke XVI.
Benda pusaka yang dipamerkan di Ruang utama Rumah Gadang
Mandeh Rubiah.
Menjadi bukti masa lalu Lunang yang melegenda dan tidak
lagi terselimuti mitos.
Dari berbagai informasi dan
referensi yang ada, Raja Minangkabau (Bundo Kanduang) yang bernama Ptri Selasih
Pinang Masak, anak Sulung dari Adityawarman dengan Putri Jamilan yang disaat
itu (akhir abad ke XV) telah memerintah sebagai Raja di Pagaruyung, yang naik
tahta menggantikan ayahnya (Adityawarman), menghadapi kemelut dengan Tiang
Bungkuk penguasa negeri Sungai Ngiyang. Putri dari Rajo Mudo (Adik
Bundo Kanduang) bernama Puti Bungsu yang telah menjadi tunangan Dang
Tungku (Putra Bundo Kandung) sejak jasad masih di dalam rahim akan
dinikahkan dengan putra Tiang Bungkuk bernama Rangkayo Imbang Jayo.
Keputusan yang sepihak itu tidak diterima oleh Dang Tunagku sendiri.
Rencana pernikahan Puti Bungsu
dengan Rangkayo Imbang Jayo disetujui oleh ayah Puti Bungsu yang ketika itu
menjadi perwakilan kerajaan Pagaruyung di Ranah Sikalawi atau berdekatan dengan
negeri Sungai Ngiyang adalah karena terbetik berita yang ngada-ngada oleh juru
penguasa negeri Sungai Ngiyang Tiang Bungkuk, bahwa Dang Tuangku sebagai Putra
Mahkota Kerajaan Pagaruyung telah menginjak dewasa dan mendapat musibah yang
luar biasa yaitu tubuhnya di dipenuhi penyakit yang menular (sejenis kudis
ganas), dan Dang Tuangku di asingkan jauh dari lingkungan masyarakat yaitu di
asingkan ke hutan belantara.
Mendengar berita itu, Rajo Mudo
menyetujui Putrinya untuk di nikah kan dengan Rangkayo Imbang Jayo. Namun
rencana itu sirna ketika Cindua Mato Putra Kambang Bandohari (Juru Kunci
Istana Pagaruyung dan juga adik bungsu Bundo Kanduang) diperintahkan oleh Dang
Tuangku untuk menjemput Puti Bungsu di Ranah Sikalawi.
Untuk menuju Ranah Sikalawi, Cindua
Mato menunggangi kabau Sibenuang. Dalam perjalanan yang penuh rintangan itu
terutama di bukit Tambun Tulang, Cindua Mato juga dibantu oleh kabau Sibenuang
dengan menggelengkan kepalanya agar Lebah penyengat yang bersarang di
telinganya dapat melumpuhkan musuh-musuh yang menyerang Cindua Mato.
Di malam rencana pernikahan Puti
Bungsu dengan Rangkayo Imabang Jayo, Cindu Mato telah samapi di Ranah Sikalawi.
Dengan akal bulihnya Puti Bungsu berhasil dibawa ke Pagaruyung. Tiba di
pagaruyung Puti Bungsu di bawa ke rumah Datuak Bandaro kemudian dengan
keputusan Basa Ampek Balai dan di setujui oleh Bundo Kanduang Puti bungsu
akhirnya di nikahkan dengan Dang Tuangku.
Sementara itu di negeri Sungai
Ngiyang, suasana memanas tidak terima perlakuan dari utusan Pagaruyung itu.
Malu bercampur marah itu harus dibalas,
dengan lantang dan percaya penuh Rangkayo Imbang Jayo membawa Pasukannya menuju
Pagaruyung untuk membalas itu. "Cindua Mato Harus di bunuh dan Puti Bungsu
harus dibawa ke negeri Sungai Ngiyang", itulah ucapan Rangkayo Imbang Jayo.
Di Istana Pagaruyung diadakan
Musyawarah besar, hadir Rajo Duo Selo, Basa Ampek Balai, masayakat Pagaruyung
dan perangkat Istana seperti Bundo Kanduang sendiri. Dalam musyawarah ini,
memerinthkan Cindua mato untuk mengasingkan diri ke negeri Pagar Dewa
negeri yang keramat yang dikuasai oleh waris Rajo Indo Jati merupakan
tali persaudaraan Ibu dari Bundo Kandung sendiri yaitu Putri Jamilan.
Negeri itu adalah Nunang (tanah menang) atau Lunang negeri yang dianggap memiliki
penjaga dari orang Bunyian (orang halus).
Setelah kepergian Cindua Mato untuk
pengasinganya ke negeri Pagar Dewa (Lunang-Indopuro), pasukan Rangkayo Imbnag
Jayo datang ke Pagaruyung untuk menyerang. Namun serangan itu di hadapi oleh
masyarakat Pagaruyung yang praktis menjadi pasukan Istana dan dipimpin oleh
Basa Ampek Balai (berjumlah empat orang) dan Rajo Duo Selo (dua orang rajo adat
dan Ibadat). Dalam pertempuran ini, Rangkayo Imbang Jayo mati terbunuh oleh
Rajo Duo Selo, begitupun pasukannya banyak mati terbunuh.
Sisa pasukan Rangkayo Imbang Jayo
yang masih hidup pulang ke negeri Sungai Ngiyang. Mendapat berita atas kematian
anaknya, Tiang Bungkuk marah besar dan bejanji akan membalas perlakuan Istana
Pagaruyung. Dengan geram Tiang Bungkuk menyatakan Pagaruyung harus di bumi
hanguskan dan negeri Pagaruyung bakal banjir darah manusia.
Di Istana Pagaruyung kembali
diaadakan musyawarah besar, sebelumnya Cindua Mato yang berada di pengasingan
dipanggil ke Pagaruyung. Dalam musyawarah ini Bundo Kandung mengambil
kebijaksanaan yang arif yaitu untuk mengirap (mengasingkan diri). Alasannya
adalah agar tidak terjadi pertumpahan darah lagi di Pagaruyung karena yang akan
berperang nantinya pastilah masyarakat Pagaruyung sendiri untuk membela Istana
dan Rajanya. Apabila Tiang Bungkuk datang menyerang pastilah Istana dan Bundo
Kandung beserta perangkat Istana yang akan menjadi sasaran serangan. Untuk itu
lebih baik Bundo Kanduang dan perangkat Istana meninggal Pagaruyung yang di
cintainya kecuali Cindua Mato yang telah mendapat mandat yang besar dari Bundo
Kandaung. Selain itu Bundo Kandung juga berpesan kepada Masyarakt Pagaruyung,
Rajo Duo Selo dan Basa Ampek Balai bahwa kepergian Bundo Kanduang untuk
mengasingkan diri adalah mengirap ke
Langit, ini di buat agar Tiang Bungkuk atau pengikutnya nanti tidak mencari
lagi keberadaan Bundo Kanduang beserta anak cucunya nanti.
Bundo Kanduang meninggalkan
Paguruyung menuju negeri Pagar Dewa negeri yang pernah dikuasai oleh Moyangnya
Indo Jati, pada waktu telah berdiri Kerajaan Indopuro di Inderapura sekarang
(kerajaan ini eksis hingga tahun 1911 yaitu Raja yang terakhir Sultan
Firmansyah yang diasingkan oleh Belanda ke Batavia sampai diakhir hidupnya).
Kerajaan Indopuro berdiri sebagai kelanjutan dari kekuasaan Indo Jati di hulu
Batang Lunang (Lunang sekarang). Raja pertama kerajaan Indopuro ini adalah Sultan
Iskandar Bagagar Alamsyah merupakan pewaris kekusaan Indo Jati di Lunang
dan mendirikan kerajan di tepi pantai yaitu Inderapura sekarang dengan alasan
mendirikan kerajaan adalah oleh faktor primus interpares dan faktor Inderapura
yang terletak di Muara Batang Lunang bisa dijadikan kota/bandar dagang
Nusantara dengan pedagang-pedagang luar seperti dari Jawa, Aceh, Melayu
(Malaysia), Cina, India dan Arab lainnya.
Setelah keberangkatan Bundo Kanduang
beserta perangkatnya dari Pagaruyung, Tiang Bungkuk beserta pasukannya datang
ke Pagaruyung untuk mencari Bundo Kanduang beserta anak dan menantunya. Tapi
setibanya Tiang Bungkuk di Pagaruyung, mereka hanya dapat menemui Cindu Mato
yang berpelakuan seperti orang bodoh. Karena Ting Bungkuk juga mendengar Bundo
Kanduang beserta pengikutnya telah terbang ke langit, niatnya urung untuk
mengincar Bundo Kanduang lagi. Sekarang tersisa Cindu Mato di Istana, ia di
bawa ke negeri Sungai Ngiyang untuk dijadikan budak oleh Tiang Bungkuk.
Di negeri Sungai Ngiyang, Cindua
Mato bekerja sebagaimana halnya seorang budak. Mengankat barang keperluan rumah
tangga hingga menjadi tukang pijit Tiang Bungkuk sebelum ia tidur. Suatu hari,
Cindu Mato memijit Tiang Bungkuk hingga ia terlelap, dalam kelelapan (tidur
ayam) itu, mulailah Cindua Mato melaksanakan rencananya dengan menanyai Tiang
Bungkuk tentang rahasia yang bisa membunuh dirinya. Karena Tiang Bungkuk adalah
orang yang kebal dan tidak bisa di lumpuhkan. Nasib ketika itu beruntung bagi
Cindua Mato, Tiang Bungkuk membuka rahasia yang bisa membunuhnya yaitu sebilah
keris yang terletak di "Tiang Bungkuk" (tiang berbentuk
bongkok/berbelok) yang terletak di rumahnya. Keris tersebut di tusukkan ke hulu
hati dan hulu hati tersebut terlebih dahulu di letekan tiga helai daun sirih.
Cara ini adalh satu-satunya yang bisa membunuh Tiang bungkuk.
Niat inipun terlaksana, tiang
bungkuk mati di tangan Cindua Mato. Untuk menebus kesalahannya, Cindua Mato
menikahi putri Tiang Bungkuk bernama Puti Ranik Jitan meskipun Cindua
Mato akan dikawinkan dengan putri Datuak Bandaro bernama Puti Lenggo Geni. Kemudian
Cindua Mato meninggalkan negeri Sungai Ngiyang menuju Pagaruyung. Puti Ranik Jitan di tinggalan di negeri
Sungai Ngiyang dan telah dikarunia seorang putra bernama Sutan Ali Dunia.
Setibanya Cindua Mato di Pagaruyung
dan membawa kabar gembira karena telah bisa menaklukan pengasa negeri Sungai
Ngiyang, rencana pernikahannya dengan Puti Lenggo Geni pun di langsungkan.
Kemudian mandatnya sebagai peganti Dang Tuangku sebagai Raja Alam Minangkabau
di Istana Pagaruyung ia pegang selama beberapa tahun.
Akan tetapi, Cindua Mato kemudian
berniat untuk ikut dengan Bundo Kanduang beserta Ibunya Kambang Bandohari ke
negeri Pagar Dewa Lunang. Di usia yang telah bisa disebut tua, Cindua Mato tiba
di Lunang beserta keluarga yang di cintainya sampai akhir hidupnya dan di
makamkan di Lunang.
Makam Cindua Mato di Lunang, makam ini terpisah dari
Kompleks Makam Bundo Kanduang karena waktu kedatangannya ke Lunang adalah di
kemudian hari setelah datanya Bundo Kanduang beserta pengikutnya tiba di Lunang
dan alasan lain Cindua Mato merupakan Pandeka Istana dan ahli dalam
pertempuran. Makam ini terletak 100 m di sebelah barat Rumah Gadang Mandeh
Rubiah
Ketika Bundo Kanduang beserta
pengikutnya tiba di Lunang, mereka tidak mendirikan kerajaan kembali seperti
sediakala sebelumnya di Pagaruyung. Mendirikan Istana berbentuk Panggung dengan
gaya rumah tradisionla atau lebih mengarah seperti rumah adat Melayu, bahkan
nama Bundo kanduang di Ganti dengan Mandeh Rubiah. Ini adalah agar berita
keberadaan Bundo Kanduang tidak diketahui oleh pengikut-pengikut Tiang Bungkuk
yang telah terlanjur dendam terhadap isi Istana Pagaruyung.
Rumah Gadang Mandeh Rubiah pusat yang sakral bagi
Masyarakat Lunang dan wilayah sekitarnya seperti Indopuro hingga perbatasan
kabupaten Mukomuko dengan kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu. Berbagai
kegiatan adat dan keagamaan dilaksanakan di rumah gadang ini, bahkan kebutuhan
alternatif ekonomi seperti ritual Tolak Bala di pusatakan di rumah gadang ini.
Keberadan Bundo Kanduang dan
Istananya di Lunang masih terasa oleh masyarakatnya hingga zaman sekarang. Dulu
masyarakat merasa kharismatik Bundo Kanduang, untuk memberi penghormatan
kepadanya maka masyarakatnya melangsungkan tradisi adat dan kegamaan di
pusatkan di rumah gadang Istana Mandeh Rubiah dan bentuk lain mereka sering
berkaul ke rumah gadang seperti membayar nazar, meminta obat, meminta doa dan
bahkan meminta restu oleh mempelai sebelum malangsungkan akad nikah dan telah
menjadi bentuk tradisi adat di Nagari Lunang.
Berbagai upacara adat dan keagamaan
masih terpegang erat oleh masyarakat Lunang untuk mempertahankan tradisi lama.
Rumah gadang sebagai simbol pemersatu dan sebagi pusat budaya yang ada di
Lunang. Upacara adat dan keagamaan dapat kita temui di Rumah Gadang Mandeh
Rubiah ini. Ritual-ritual inipun telah menjadi dukungan bagi ulama-ulama di
Lunang, bahkan kelangsungan upacara ini tidak terlepas dari keterlibatan ulama
selain para Penghulu Suku yang ada di Lunang sendiri. Untuk secara garis besar
upacara itu dapat dipaparkan antara lain :
3. 1. Maulid Nabi di Rumah Gadang Mandeh
Rubiah
Maulid Nabi di
Rumah Gadang Mandeh Rubiah di laksanakan setelah upacara maulid nabi di masjid
nagari yang terletak di sebelah barat rumah gadang. Pelaksanaanya pun sedikit
berbeda dengan pelaksanaan di Mesjid. Di Mesjid masyarakat membaca pujian
kepada Rasul yang di kenal masyarakat Lunang bajikia (berzikir) begitupun di
rumah gadang, jaudah/makanan di mesjid di antarkan oleh masyarakat ke mesjid
setelah di masak sebelumnya di rumah masing-masing. Jaudah di masukan ke dalam
rumah jamba sebagai tempatnya untuk di bawa
ke mesjid dan nasi gulai di masukan ke dalam rantang dan talam.
Di Rumah Gadang Mandeh
Rubiah masyarakat hanya membawa perlengkapan yang belum dimasak seperti buluh
lemang, daun pisang, kayu bakar dan lainya untuk perlengkapan membuat lemang. Dan
yang lain seperti beras, ayam, serta kebutuhan memasak lainya. Perlengkapan ini
di masak oleh masyarakat di Rumah Gadang Mande Rubiah..
Perbedaan lain terlihat adanya tradisi masyarakat Lunang
dalam pelaksanaan upacara maulid nabi dibarengi dengan ritual lama yang dikenal
dengan Pghah Mato, yaitu setiap anak-anak yang berumur balita wajib menjalani
pengobatan untuk mengobati mata sejak dini, setiap ibu balita membawa perkakas
yang telah ditentukan antara lain induk ayam putih, beras pulut, pisau, tali
benang 3 warna, lapik pandan, buluh cina
satu batang, bangkul dan kendi (botol) tempat air.
3. 2.
Tarawih 4 Malam di Rumah Gadang Mandeh Rubiah
Pada malam ke-23 sampai malam ke-26 tarawih di bulan
Ramadhan, masyarakat Lunang dan masyarakat sekitarnya seperti dari Indrerapura,
Silaut dan Lubuk Pinang Mukomuko Bengkulu melaksanakan tarawih di rumah gadang
selama empat malam berturut–turut. Tarawih ini tidak berbeda dengan tarawih
yang dilaksanakan di Mesjid-mesjid
sebelum dilaksanakan sholat
tarawih para jamaah terlebih dahulu membaca ayat Al qur' an sehingga 3
malam pembacaan al qur’an diselesaikan mengajinya sampai tamat secara bersama-sama
3. 3.
Takbir di Rumah Gadang Mandeh Rubiah
Setelah secara bersama-sama masyarakat melihat anak bulan,
dan telah tiba penentuan hari raya Idul Fitri, maka malamnya dilangsungkan
takbir di rumah gadang sebelum dilaksanakannya takbiran di Masjid. Kumandang
takbir ini bergema dalam rumah gadang. Sementara itu di masjid juga
dilangsungkan takbiran sambil menunggu para jamaah yang melangsungkan takbir di
rumah gadang. Setelah terasa selesai takbir dirumah gadang, kemudian para
jamaah melanjutkan takbir ke Masjid.
3. 4.
Salat Idul Fitri di Rumah Gadang
Pada hari raya Idul Fitri sebelum masyarakat secara
keseluruhan melaksanakan salat Idul Fitri di Mesjid, sebagian ulama dan jamaah
lain melaksanakan salat Idul Fitri ini di Rumah Gadang Mandeh Rubiah, salat ini
kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kotbah berbahasa arab. Pegawai yang
menjadi khatib kotbah dan imam memakai pakaian jubah dan sorban. Setelah selesai seluruh rukun salat Id di
rumah gadang, maka para jamaah yang salat di rumah gadang seluruhnya menuju
masjid yang terletak disamping Rumah Gadang Mande Rubiah.
3. 5.
Manjalang Rumah Gadang Mandeh Rubiah
Manjalang (menjelang) adalah prosesi
adat bercampur agama yang telah metradisi di Nagari Lunang, disebutkan demikian
adalah karena prosesi adat tersebut sekaligus menyambut hari raya Idul Fitri
yang dilangsungkan di Rumah Gadang Mandeh Rubiah. Manjalang diartikan dengan mengunjungi
Rumah Gadang Mandeh Rubiah dalam rangka silaturahmi (halal bihalal/bermaaf-maafan)
anatar seluruh unsur masyarakat, mulai dari unsur adat, alim ulama dan
masyarakat dengan Mandeh Rubiah.
Sebagai ungkapan rasa hormat
masyarakat Lunang kepada pewaris rumah gadang yang telah mentradisi dari dahulu
hingga sekarang maka dilangsungkan setiap tahunnya upacara Manjalang atau
mengunjungi rumah gadang.
3. 6. Naiak Kadudukan di Rumah Gadang
Mandeh Rubiah dalam Upacara Perkawinan di Lunang
Naiak kadudukan adalah istilah
yang dipakai oleh masyarakat Lunang untuk memohon doa restu dari Mandeh Rubiah
di Rumah Gadang karena sebagai Mandeh Rubiah ia dianggap orang keramat. Menurut
kepercayaan masyarakat setempat bila calon mempelai tidak meminta restu dari mandeh
Rubiah sebelum pernikahan maka ketika menikah nanti mereka dapat mengalami
hal-hal yang tidak diinginkan seperti demam pusing dan sebagainya sehingga bias
menggagalkan proses pernikahannya yang akan berlangsung. Jadi jika tidak
melakukan hal ini bagi masyarakat Lunang merasa ada yang kurang dalam
pelaksanaan pernikahan anak kemenakan mereka. Sehingga dalam upacara adapt
perkawinan naiak kadudukan merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan yang
tidak dapat diabaikan begitu saja.